Kisah Mengharukan: Ketika Aku Mengetahui, Suamiku Berbagi Cinta


Aku tertegun waktu suamiku berucap akan memperkenalkan istri barunya. Antara yakin dan tidak yakin. Ternyata suamiku sudah menikah lagi beberapa minggu yang lalu. Seorang madu telah suamiku hadirkan. Seorang wanita yang usianya lebih tua sedikit di atasku. 

Jujur, awalnya saya merasa biasa. Taqdir sudah bicara. Tidak ada luka apalagi sakit. Perasaanku tidak berubah sedikitpun. Secara kok beda banget dengan kebanyakan wanita, yang biasanya segera berlinang air mata. Aku hanya ingin begitu berhati-hati menyikapi semuanya. Supaya tidak sampai terpeleset dalam ujian sensitif untuk wanita seshalih apapun ia. 

Tetapi perlahan-lahan namun pasti, ada sesuatu yang menyeruak dalam dadaku. Inikah rasa yang begitu susah untuk digambarkan dalam kata. Entahlah, yang saya tahu suami yang amat saya cintai telah membagi cinta dan semuanya. 

Terkesima, untuk sesaat saya terkenang kisah istri-istri nabi waktu sang rasul menghadirkan madu baru dalam biduk rumah tangga beliau. Yaitu Aisyah yang cemburu waktu Juwairiyah menemui sang kekasih serta lalu rasulullah nikahi. Juga waktu Aisyah cemburu saat selepas safar rasul membawa istri baru Shafiyah yang jelita. Juga cemburunya Hafsyah pada Mariatul Al-Qibtiyah yang cantik rupawan. Tetapi mereka tetap mengucapkan selamat dan menyampaikan doa atas pernikahan suami, sang rasul pilihan. 

Ya Robb, istri rasulullah saja cemburu waktu ada madu baru, bagaimana mungkin saya tidak? Sementara saya adalah wanita yang sangat biasa. Tidak seujung kuku dibanding istri nabi. Tetapi sampai detik ini, cemburuku memang bukan cemburu biasa. Apalagi pada seorang yang aku pun sama sekali tidak mengenalnya. Karena sampai sekarang ini, saya belum bisa cemburu dengan madu, siapa juga ia. Hanya bidadari yang betul-betul membuatku cemburu, makhluk langit yang akan mengejekku waktu aku marah dengan suami. 

Tiba-tiba semua memori mengenai poligami mereka yang biasa curhat denganku berloncatan keluar. Aah, hampir semuanya meneteskan airmata dan luka. Hampir semuanya merasakan kekecewaan yang mendalam pada sang suami. Tidak banyak yang mau bertahan dan justru memilih jalan kesendirian dalam menyikapinya. Teringat pula saya dengan cerita istri Aa Gym yang kemudian pernah minta cerai waktu sang Ustadz menikah lagi. Baru aku tahu, mungkin inilah rasanya. Sakit dan kemudian serasa ada yang hilang. 

Aku hampa dalam rasa. Entahlah, semua terjadi begitu cepat dan mendadak. Poligami ternyata punya rasa yang sangat berbeda dari segi mana posisiku ada. Sebagai yang terlebih dahulu dinikahi atau yang kemudian. Di awal-awal poligami, tidak ada sejarahnya apabila yang tidak suka atau cemburu adalah yang kemudian dinikahi. Tidak wajar malah. Tentu yang terdahulu yang cemburu. Aisyah yang cemburu waktu rasul menikah dengan Shafiyah, bukan sebaliknya. 

Kini setelah suamiku menikah lagi, ini jadi ujianku. Terngiang kembali bayangan waktu saya mengisi sebuah kajian. Saat saya menceritakan mengenai pemuda miskin, yang atas perintah rasul diminta menikah. Menikah membuka pintu rejeki, begitu sabda beliau. Jadi menikahlah sang pemuda, tetapi bukannya jadi kaya namun justru tambah miskin.

 Lalu datanglah sang pemuda menghadap rasul untuk minta solusi. Rasul juga menyuruh untuk menikah lagi. Walau bingung, sang pemuda tetap mematuhi perintah nabi junjungan. Tetapi setelah itu, kemiskinan sang pemuda semakin bertambah.

Menghadap lagi ia pada baginda rasul. Dan lagi-lagi rasul menyuruh sang pemuda menikah lagi. Waktu kemiskinan semakin membelit dengan tiga orang istri, sang pemuda komplain pada nabinya. Lagi-lagi rasul berikan solusi untuk menikah lagi, sampai genaplah istrinya empat orang, memenuhi quota maksimal yang diberikan. Kemudian perubahan besar terjadi, istri ke empat ternyata mempunyai ilmu keterampilan baru yang dapat ditularkan ke semua istri. Jadilah si pemuda orang kaya yang berhasil berbisnis dan berpoligami. 

Ya Allah, Sebenarnya bibir ini pernah berucap ridha dan menerima poligami sebagai syariat-Mu. Tetapi mendadak semuanya lupa, seakan tidak pernah ada. Sebenarnya pelajaran mengenai poligami sudah begitu nyata dihadapan mata. Mengenai kawan baik, saudara yang juga hidup berpoligami. Dan mereka yang memilih jalan itu baik-baik saja, selama berpijak pada ketentuan-Nya, tidak ada permasalahan yang tidak dapat untuk diselesaikan. Tetapi goresan luka, sudah melepas sendi kesadaran saat berpijak. Duhai hati, kemana engkau membalik? Kemana jiwa yang tenang pergi? 

Malam itu, saya terlelap dengan tanpa sadar berucap semua dzikir dan doa. Entah apa saja yang saya katakan. Saya hanya ingin selamat dari pusaran rasa yang tidak kunjung bertepi. Ingin rasanya menangis, namun tetap tidak bisa. Walau sebenarnya airmata lah yang biasa melapangkan hati, membersihkan fikiran dan penyakit kotor. 

Esoknya… 

Aku betul-betul kecewa dengan suamiku. Bisikan setan mulai menyelinap di telingaku. Betul-betul kacau. Tidak bisa aku biarkan. Namun sebal dan dongkol jadi mulai bermunculan dan tidak mau pergi, rasanya masih begitu sulit untuk berbagi suami dengan pendatang baru. 

Ini yang akhirnya membuatku sangat geregetan. Di satu sisi aku dongkol dengan suami, namun di sisi lain saya tidak ingin diejek, sama bidadari pula. Oh my God, masa’ hamba tega dengan seorang imam yang sangat aku kasihi? Seorang suami yang hadirnya juga sangat aku rindukan, waktu giliranku tiba. 

Seorang pria yang sudah jadi bapak anak-anakku. Duuh, sampai kapan ikhlas ada, menghilangkan dongkol ; Sakitnya tuh disini, didalam hatiku (nah loh jadi latah ikut-ikutan laguyang setiap hari terdengar di telingaku waktu di jalanan). Sakit waktu harus sebal dengan suami belahan jiwa. Waktu dua rasa beraduk jadi satu pada benci dan cinta. Badanku jadi ikutan sakit, lemes dan menjadi lemah. 

Ya Robb, begini amat rasanya waktu pujaan hati mempunyai istri lagi. Kemana menguapnya kajian pengetahuan yang sering aku ikuti. Yang diantaranya juga tentang poligami. Kemana menjauhnya kalimat-kalimat nasehat, waktu beberapa orang sahabatku terluka merasakan suaminya sudah poligami. Kemana? Saya hanya ingin segundah apa pun hatiku, semua masih tetap dalam rel-Nya. 

Sungguh aku tidak lagi dapat memikirkan apa-apa, aku hanya menginginkan mengandalkan-Mu saja untuk menyelesaikan kegalauan hati. Hatiku juga hanya Engkau yang punyai dan berkuasa membolak-balikkan ke arah yang mungkin tidak terduga. 
Dalam doa di sepertiga malam aku hanya dapat pasrah. Apa pun itu semua yang sudah terjadi yaitu yang terbaik dan atas seizin Allah. Semua peristiwa tentu ada hikmahnya. Demikian juga dalam pernikahanku. Ucapan lembut dan mesra suamiku juga masih menghujani hatiku. Tidak ada yang berubah. Sejak menikah lagi, suamiku juga masih tetap romantis. Tidak ada yang berubah dengan cinta dan rindunya untukku. Stabilitas politik diantara kami masih juga terjaga. Lalu kenapa aku harus dongkol? Tidak ada alasan. 

Bila memang cinta, seharusnya kebahagiaan suamiku yaitu yang utama. Bila mempunyai banyak istri akan membawa kebaikan untuk suami, ketenangan dan kebahagiaan, dan lebih bisa menjaganya dari fitnah wanita, mengapa harus aku permasalahkan? Kasihannya suamiku, saat dalam safarnya harus sering bertemu wanita-wanita cantik nan seksi mempesona. 

Wanita yang memang Allah buat penuh keindahan, bertebaran di jalanan tanpa tutup aurat dan menggoda iman pria. Wanita-wanita yang sebagai sesama wanita saya juga kadang mengaku kecantikan dan keindahannya yang luar biasa. 

Bila sudah seperti ini masa iya aku masih tidak tahu. Lagipula kuota suami untuk menambah istri lagi memang masih ada. Siapalah aku, Aisyah yang sangat rasul sayangi juga punya madu. Madu-madu shalihah yang dinikahi rasul setelah beliau ada delapan orang. 

Bukankah madu juga hadiah terindah? Allah menjanjikan syurga untuk istri yang ridha suaminya menikah lagi. Madu shalihah juga bisa jadi sahabat serta saudara seiman. Miliki ikatan dan maksud yang sama, untuk membahagiakan pria yang sama-sama di cintai. Astaghfirullah, kenapa aku harus larut dalam lautan rasa yang begitu luasnya? Kenapa harus terpengaruh dengan beberapa besar wanita yang memang alergi dengan poligami? 

Wuih, aku dapat tidur tenang setelah ini. Suami hanya manusia biasa yang penuh kekurangan, kekurangan dan keterbatasan. Hanya titipan yang setiap saat dapat Allah ambil kembali. Egepe aja daah. Sepertiga malam telah menungguku. Disana saya dapat menyampaikan semua isi hati. Dapat menangis kala teringat semua dosa. Dapat kuadukan juga suamiku pada Rabbnya. 

Sebelum tidur, saya menelpon maduku. Komunikasi keduaku, setelah sebelumnya sama-sama menelpon untuk sedikit berteman. Saya tidak tau apa-apa mengenainya terkecuali satu nama panggilan dan status sebelum menikah dengan suamiku. My lovely handsome husband juga tidak cerita apapun mengenainya. 

Ternyata, sesuai usianya yang di atasku sedikit ia wanita yang memang dewasa dan InsyaAllah shalihah. Setidaknya dari sebagian pertanyaan yang aku ajukan, aku dapati jawaban yang melegakan. Gaya bicaranya sama persis dengan sahabatku yang sudah lama tidak jumpa. Menggugah kerinduanku pada sebuah masa ketika kuliah dulu. 

Walau sekalipun tidak mengenalnya, kenalan juga hanya melalui udara, aku merasa ada kecocokan dengannya. Terasa dekat seperti bicara dengan seorang kakak. Rasanya aku juga mulai menyayanginya. What? Entahlah. Tidak tahu juga mengapa. Kok berbeda kali ya dengan cerita pengalaman teman-teman yang pada “panas” waktu komunikasi pertama dengan sang madu via telpon. Apalagi komunikasi selanjutnya, bila tidak diam penuh kesinisan ya sewot-sewotan. 

Esoknya lagi….. 

Di sepertiga malam pas jam 3 pagi aku terbangun. Tidur yang sekejap telah menyegarkanku. Sesudah berwudhu, aku bergegas tahajud. Benar juga, waktu ingat mati, semua dosa dan kedzaliman yang pernah saya lakukan, air mataku tidak terbendung lagi. Saya jadi lupa bila mau mengadu badai hati kala suami membagi cintanya. 

Subhanallah, tiba-tiba hatiku merasa ringan. Nyaman, dan aku merasa biasa lagi, tidak kepikiran lagi dengan pernikahan suami. Kok bisa? Mene ketehe… hehehe… Hatiku plong. Wuih, aku dapat membagi pengalaman dikasih madu tuk teman-teman. Tidak sesulit dan sepahit yang mereka sangka. Terlebih waktu kita yakin, ada kekuatan Allah yang Maha dibalik setiap ujian hamba. Ternyata aku tidak kalah sama para istrinya eyang subur. Yess! 

Selepas subuh, aku baca Alquran. Kitab suci yang sedari kecil begitu menenangkanku waktu aku baca. Apapun permasalahan yang aku hadapi, setelah membaca Alquran hatiku jadi tenang. Terkadang langsung waktu itu juga, terkadang beberapa saat kemudian. 

Mendadak, tiba-tiba ada angin fresh menerpaku. Ada debaran aneh menyelimuti di dadaku. Aku teringat suami dan semua mengenainya. Tatapan matanya yang menggetarkan, ucapannya yang meneduhkan, candaannya yang sering membuatku terpingkal, keromantisannya yang selalu mendatangkan debaran, dekapannya yang menyejukkan dan semuamua mengenai suamiku. Memoriku berputar tidak terkendali. Semua saat saat bersama suami merasa begitu indah. Oh my God, aku jadi sangat merindukannya.

 Jiwaku melayang dengan semua rasa yang berloncatan, membuncah tidak karuan. Aku baru seperti mengenal suamiku, kala cinta menggoda di pandangan pertama. Help me… rasa ini makin tidak bisa aku kuasai. Aku terasa seperti orang yang sedang jatuh cinta. Seperti awal-awal dulu waktu bertemu suami. Hanya ada rindu dan cinta yang menggebu-gebu. Melayang-melayang terbang tinggi rasaku dibuatnya. (akhwatmuslimahindonesia]